Ku bilang ini kisah ku, masa lalu ku, dan masa penantian ku

Terdiam aku hanyut dalam renungan. Memutar balik rekam memori di hati kecil anugrah Ilahi. Sedikit menuangnya pada lembar-lembar bergaris di atas meja. Disana terkapar beranekaragam benda dan bermacam buku milikku. Ku rapihkan. Mencoba menelusuri kisah diri ini dengan mengembara dalam raga. Memulai coretan kisah suram di masa kelamku.


SMP. Aku Kembali masuk ke dalam perkumpulan di atas rata-rata.Ketika ku baca secarik pengumuman terpampang, jelas berhuruf kapital ejaan namaku masuk daftar kelas eksekutif. Dua semester ku duduki juara umum.

Suasana yang persis, layaknya satu tahun yang lalu. Mungkin itu sudah hukumnya tinggal di forum anak muda cabe rawit. Suatu ketika, usul dari seantero kelas mengusulkan mengubah struktur bentuk tata kelas. Tanpa butuh waktu setengah putaran jarum jam, desain ruang telah tersulap rapih menjadi bentuk liter U. Duduk berdekatan juga sulit keluar masuk bangku itu resikonya. Gadis manja namun pintar serta fasik dengan bahasa asingnya, dia sahabatku sekaligus teman di samping kiri kursiku. Tuan Rumi, anak laki-laki yang tangguh memainkan segala alat musik ini menduduki bangku di samping kananku.

Wajahnya menatap ke arahku. Saat itu guru tengah menjabarkan rumus dengan tahap pembuktiannya. Setidaknya jangan buat aku menoleh mengembalikan tatapan tajamnya. Melintas ketakutan di dada. Jantung memompa darah tak secepat biasanya. Sebenarnya rasa apakah ini? Akankah... Segera ku tepis gundah yang kian menyiksa itu.

Sejak tatapan tajamnya jatuh di retina mata dan tersalurkan hingga berakhir di hati, dia.. Gerak perhatian darinya semakin membuka rahasia kecil di benakku. Karenanya, setiap warga kelas tahu bahwa aku menyukainya dan begitupun dia, Ku Rasa...?

Langkah ku percepat. Ku eratkan genggamanku pada sahabat dekatku. Loncatannya lebih gesit daripada katak di kolam rumah. Dia semakin dekat, mengikuti arah laju kaki ini. Hari itu Rumi berhasil merekam dimana kediaman ku berada.

Mulai turun tetes air dari tubuh sang langit. Basahi setiap sudut yang tampak dari jendela kamar. Pandangku teralih, lamunan ku terkecoh dengan salam tak asing dari gerbang rumah. Seluruh tubuhnya ditutupi air hujan. Apa maksud dari kedatangannya, tak mungkin sekedar bertamu. Sejak itu, kesan pertama Rumi telah buruk di mata Ayah.

Kini aku menginjakkan kaki di bangku kelas IX. Tepat di kelas unggulan untuk kesekian kalinya. Meski cinta itu tak direstui, namun kasih kita terus berlanjut hingga masa itu. Ayah terus menampakkan kebenciannya pada Rumi. Tak jarang, Ibu turut menasihati aku bahwa Rumi tak baik untukku, wanita yang polos. Tetapi hati membantahnya, aku terus melanjutkan kisah terlarang itu.

Satu sosok yang belum ku lukiskan. Kaka, layaknya kakak untukku. Seringkali kami bertukar kata saling mengingati satu sama lain. Kaka dikenal sebagai sosok agamis. Meski begitu, ilmu dunia tak luput Kaka kuasai.

Suatu hari, aku dan ketiga sahabatku tengah menyiapkan diri untuk tes musikalisasi kelompok esok. Hingga sangat sore kami menetap di sekolah. Setuntasnya, aku beristirahat di bawah pohon asem, ah.. kembali ku ingat masa dimana Rumi ungkapkan limpahan kasih sayangnya padaku. Ku menunggu waktu les bahasa asing. Tiba waktu les berlangsung. Mendadak aku menggigil. Bukan sekedar sejuk, rasa itu terlalu menyiksa. Dingin, ku ingin teriakkan perih ini, "Dingiiinn........"

Esok menjelang, aku masih saja terserang dingin luar biasa. Suhu tubuh terus meningkat mencapai 39,6 derajat celcius, setelah tiga hari terakhir. Telepon genggam itu terus berdering, menganggu diri yang tengah berbaring lemah. Itu nomor Rumi. Lama dia tak bicara padaku, begitu pun aku sebalinya. Ahh.. lupakan, hanya akan membuat Ayah marah. Ku tutup mataku.

Cek darah menyatakan positif demam berdarah, resiko rawat inap. Tak ada pilihan lain, ku turuti pesan ibu dan dokter. Anggrek 3, disini aku secapat mungkin memulihkan diri. Entah, Kaka terus khawatir menanyai kabarku. Kaka sangat peduli, sangat Sakit memaksaku tak sanggup mengikuti ulangan umum semster ganjil tahun ini. Tiap malam ibu menasihati diri yang berdosa, sungguh ibu tak pernah putus asa membimbingku. Sebodoh inikah aku hingga aku terpedaya bualan lelaki bejat itu. Aku menderita malu. Kaka selalu menguatkanku. Aku kritis, namun tetap masih berharap belas kasih dari Rumi, lelaki pembual. Lagi-lagi, kaka yang menghapus duka-ku. Apa itu sebuah pertanda? ...

Pembagian rapor dapat ku hadiri. Kali ini tak mungkin ku raih kursi emas julukan juara umum. Kaka menggantikan posisi dimana biasa aku berdiri. Aku kini di nomor dua setelahnya. Ku ingat secarik susunan kata puitis Kaka untukku. Dari rangkaiannya kini ku pahami. Kaka berbeda, caranya indah dalam mengungkap sejuta rasa terpendamnya. Kaka hanya takut satu hati kan tersakiti, oleh sebab dia bersembunyi namun tetap melindungi.

Sejak hati itu ku sadari kesalah pahaman ku selama ini. Sinar itu bukan milik Rumi. Kilau kasih itu bukan terpancar darinya. Rumi hanya membiaskan. Nyatanya, bintang tercerah itu bersembunyi dan mengalah untuk Rumi yang kelam. Bintang yang setia menyinari hatiku, kilaunya yang tak membutakan mataku, dan cahayanya yang tak menyakiti hatiku. Tak lain, sinar itu berasal dari Kaka.

Waktu bergulir, aku kini beranjak dewasa. Ku duduki bangku kelas X di SMA favorit. Kaka melanjutkan pencarian ilmunya ke pondok pesantren. Ya, begitulah impian Kaka yang tercapai. Kini ku tengah dalam penantian. Terbesit lamunku terganggu, ku teringan si pembual. Keburukannya di masa SMA tengah terungkap sedikit demi sedikit. Setelah aku menjauh darinya, telah banyak wanita yang disakitinya.

Ku sesali masa lalu kelam dekat dengan sosok dirinya. Ahh.. bukan masalahku lagi kini. Ku kembali dalam lamunan indah, menatap langit serta bintik kecil bertaburan yang bercahaya.Bintang tercerah itu nan jauh disana. Hey, aku menunggu. Dan terus menunggumu.

B E R S A M B U N G :)

Categories:

One Response so far.

  1. keren .. :)

    comment di blog ade juga ya .. lagi ngumpulin comment nii .. :)

Leave a Reply