Generasi Stres Masa Depan

Dalam salah satu cerpennya yang berjudul "Kami Lepa Anak Kami", sastrawan Gus Sakai menuliskan keprihatinannya atas kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Cerpen tersebut bercerita tentang para orang tua yang setiap pagi, melakukan prosesi melepas kepergian anak-anaknya ke sekolah. Anak-anak mencium tangan sang ayah, kemudian melambaikan tangannya untuk masuk ke dalam pekarangan sekolah. Rutinitas setiap hari.

Namun pada suatu hari, sang ayah ingin masuk ke dalam ruangan sekolah tersebut untuk bertemu kepala sekolahnya. Dia harus naik kelantai 2, lantai 3, dan entah berapa lantai lagi, kemudian mauk ke ruangan, belok kanan, keruangan lagi, belok kanan, belok kiri, masuk ke ruangan yang gelap dan dingin hingga akhirnya dia baru menyadari, tak pernah bertemu dengan guru-guru dan kepala sekolah tersebut. Tiba-tiba ia berada di ssebuah ketinggian dan bisa melihat pemandangan yang sangat "menakjubkan": ribuan orang tua di sebuah lapangan, melakukan prosesi melepas anak-anaknya ke ekolah, dan ketika memasuki pekarangan sekolah anak-anak itu berubah menjadi robot-robot yang menyandang tas dengan terbungkuk-bungkuk...

Ya, anak-anak kita sudah menjadi robot. Mereka setiap hati harus menanggung beban mata pelajaran, menghafap rumus ini-itu, membuat tugas, les ini-itu, ikut bimbingan mata pelajaran untuk Ujian Nasional, untuk masuk perguruan tinggi, untuk masa depan mereka katanya. Mereka kehilangan waktu bermain, kehilangan keindahan masa kecil, belajar pagi sampai sore, ketika sampai rumah harus belajar lagi untuk esoknya dan kadang tak bisa menikmati tidur nyenyak. Yang terbayang adalah guru-guru yang siap memberikan hukuman di sekolah ketika mereka terlambat masuk, ketika tidak membuat tugas, ketika tidak gafal rumus, ketika uang sekolahnya terlambat, ketika uang beli bukunya terlambat hingga mereka lupa sarapan atau sekedar minum susu yang kini harganya melangit dan itupun isunya tercampur bakteri mematikan. Sistem pendidikan kita tidak memberikan tempat kepada siwa untuk berpikir bebas, mempertanyakan sesuatu, berdiskusi dan sebagainya. Anak-anak dicekoki dengan dogma dan aturan-aturan yang membuat mereka benar-benar dihantui.

Lihatlah di setiap pagi ketika musim ujian tiba, di jalanan ketika mereka diantar oleh ayah ibu mereka, banyak yang duduk di sadel kendaraan bermotor sambil membuka buku pelajaran dan membaca ketika kendaraan melaju kencang di tengah hiruk-pikuk dan semrawutnya lalu lintas. Mereka memaksakan diri untuk menghafal rumus atau teori-teori tanpa aplikai, yang mungkin akan keluar dalam ujian nanti. Sebuah cara belajar yang membahayakan dirinya, sang ayah atau ibu yang mengantar dan mengendarai motor atau pengendara lainnya. Mereka hanya punya satu keinginan : tidak salah dalam ujian nanti, maka berbagai cara dilakukan, termasuk membaca di motor. Maka beruntunglah bagi mereka yang diantar dengan mobil oleh orangtuanya.

Menjelang meninggalkan sekolah di akhir kelas III, mereka juga harus mengadapi persoalan yang berat, ujian nasional. Inilah monster yang beberapa tahun terakhir menghantui anak-anak sekolah. Mereka harus mencapai nilai yang sudah ditetapkan oleh pusat untuk bisa lulus kalau tidak ingin mengulang lagi. Per mata pelajaran harus mencapai nilai tersebut dan tidak dihitung komulatifnya seperti sistem ujian nasional sepuluh atau lima belas tahun lalu ketika Nilai Ebtanas Murni hanya menjadi ssalah satu syarat lulu, dan bukan satu-satunya syarat lulus.

Entah akan jadi apa generasi kita ke depan ketika beban berat di pikiran mereka sudah ditumpukkan bahkan ketika mereka masih di bangku sekolah. Bukan tidak mungkin, keinginan untuk mendapatkan generasi cerdas di masa depan, akan berubah menjadi monster baru: "generai stres yang tak mampu menerima sebuah sistem pendidikan dan pengajaran yang dipaksakan oleh negara".

 riau post, senin, 3 maret 2008

Categories:

Leave a Reply